Archive for Maret, 2006

Articles

Kick Andy : Mengangkat Kontroversi Tanpa Solusi

In Media on Maret 28, 2006 oleh nonblogs

Kick Andy merupakan acara baru di Metro TV yang berupa talkshow yang dipandu oleh Andy F Noya. Mungkin karena itu acaranya dinamakan Kick Andy. Acara ini hadir setiap kamis pukul 22.30 WIB dan berdurasi 60 menit

Penampilan Andy F Noya sendiri cukup menghibur. Meskipun tema yang diusung cukup berat. Tetapi dalam pembawaannya Andy bisa membawa ke suasana lebih cair. Hal tersebut dilakukannya melalui celetukan-celetukannya dalam merespon narasumber, meskipun narasumber menyampaikannya cukup serius, tetapi terkadang ditanggapi secara guyon oleh Andy.

Setiap pemunculannya, Kick Andy menghadirkan sekitar 3-4 narasumber. Dan tema yang diangkat adalah hal-hal yang cukup kontroversi di masyarakat seperti masalah gay dan minggu ini mengangkat isu yang cukup aktual yakni masalah Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Di edisi yang mengangkat masalah gay, Andy menghadirkan nara sumber yang cukup berbobot yakni dari pelaku itu sendiri seperti Dede Utomo, seorang dosen di surabaya yang terang-terangan mengaku sebagai gay sejak tahun 80an, kemudian Mamoto, seorang gay yang mempunyai kekasih seorang jurnalis Belanda dan akhirnya menikah di Belanda. Belanda merupakan salah satu negara Eropa yang mengijinkan pernikahan sesama jenis.

Sedangkan saat menghadirkan isu kekerasan dalam rumah tangga, Andy menampilkan korban-korban kekerasan dalam rumah tangga dari berbagai strata ekonomi, mulai dari pengusaha sampai ekonomi lemah. Dan kesemuanya adalah wanita. Ada wanita eks pengusaha yang dimanfaatkan suaminya untuk bayar hutang, ada lagi 2 orang wanita yang mempunyai suami yang sama dan keduanya menjadi korban pemukulan dan penganiayaan suaminya.

Di edisi tersebut Kick Andy diawali dengan cuplikan film terbaru Nia Dinata yakni Berbagi Suami. Dan kemudian diakhiri pula oleh komentar dari Nia Dinata sendiri mengenai film tersebut serta masalah poligami. Karena Film tersebut mengangkat tema poligami. Dan akhirnya terkesan bahwa kekerasan Dalam rumah tangga itu disebabkan adanya poligami. Padahal kalau dilihat kasus per kasus tidak semua disebabkan oleh poligami, seperti Kasus Wien Adithya Estevez, wanita pengusaha yang diperalat suaminya (seorang DJ) untuk membayar hutang-hutangnya.

Sayang dalam mengangkat isu-isu tersebut, Andy tidak menyeimbangkan keadaan. Meskipun narasumber yang dihadirkan berbobot yakni dari pelaku itu sendiri, yang saya yakin hal ini tidak mudah seperti masalah gay yg masih menjadi hal tabu di masyarakat. Dan juga 2 istri tadi yang masih dicari-cari oleh suaminya. Tapi Andy tidak menghadirkan nara sumber yang tidak setuju atau berbeda pendapat dengan mereka semua. Jadi pembicaraan seperti satu arah.

Jadi kesan yang ditangkap adalah pemirsa tidak diajak untuk berbeda atau tidak setuju dengan masalah tersebut. Contohnya adalah masalah gay, nara sumber yang dihadirkan adalah narasumber yang kesemuanya adalah pihak yang setuju dengan gay. Tetapi tidak menghadirkan narasumber yang mengatakan bahwa gay adalah salah. Atau paling tidak memberikan saran atau solusi dari masalah tersebut.

Sebenarnya di edisi kedua yakni saat mengangkat masalah Munir, Kick Andy sempat menampilkan dua pihak yang berseberangan yakni dari pihak Munir, dan juga istri dari Polycarpus. Entah mengapa format seperti itu tidak ditampilkan di edisi berikutnya.
Tujuan tersirat yang dapat ditangkap adalah Kick Andy mengangkat tema yang sebenarnya sudah pasti jawabannya di masyarakat tetapi di sini jawabannya tidak dimunculkan yang akhirnya menimbulkan kesan bahwa si pelaku ini belum tentu salah. Dan akhir dari acara tersebut biasanya kesimpulan diserahkan ke pemirsa sendiri. Jadi seperti mengambangkan sesuatu yang sudah pasti?


Articles

Sejarah Kompas yang Hilang

In Media on Maret 21, 2006 oleh nonblogs

Sulit rasanya saat ini mendapatkan media yang independent, dan tidak menjadi corong bagi satu pihak baik itu partai politik atau golongan agama tertentu. Ada media yang terang-terangan memang menjadi media untuk golongan agama tertentu. Mungkin bisa saya sebut disini adalah Majalah Sabili, yang secara gamblang menunjukkan keberpihakannya kepada kepentingan umat Islam.

Tetapi ada juga media yang sebenarnya adalah corong dari kelompok tertentu di masyarakat tetapi tidak menunjukkannya secara gamblang kepada khalayak ramai. Hal tersebut bisa karena sebagai sebuah strategi agar apa yang disampaikan dapat diterima masyarakat. Sebab bisa saja masyarakat apriori terlebih dahulu jika sudah mengetahui bahwa media itu menjadi corong golongan tertentu.

Kompas sebagai salah satu media yang menjadi tolok ukur media di Indonesia, ternyata cukup hati-hati dalam menempatkan diri di benak orang. Di booklet yang disebarluaskan pada saat Pameran Industri Pers Indonesia 2005 yang berlangsung di Assembly Hall – Jakarta Convention Center 3-5 Juni 2005, tercantum bahwa Kompas lahir pada 28 Juni 1965 yang digawangi oleh Jakob Oetama dan Auwjong Peng Koen (P.K. Ojong). Keduanya merupakan pendiri majalah Intisari dimana Jakob Oetama sebagai Pemimpin Redaksi.

Di booklet disebutkan bahwa Jenderal Achmad Yani sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat minta Frans Seda menerbitkan koran yang independen, kredibel dan seimbang. Frans Seda kemudian bicara dengan beberapa rekannya seperti: Kasimo, P.K. Ojong dan Jakob Oetama mengenai kemungkinan diterbitkannya koran tersebut.

Dan kita tahu semua bahwa koran tersebut akhirnya lahir dan diberi nama Bentara Budaya. Tetapi Presiden Soekarno mengusulkan untuk mengubah menjadi KOMPAS, artinya Penunjuk Arah.

Sampai disini sepintas terkesan tidak ada yang istimewa. Tetapi jika kita baca tulisan dari Coen Husain Pontoh yang berjudul Amanat Hati Nurani Karyawan di Majalah Pantau edisi April 2001, ternyata ada sejarah yang hilang. Atau dihilangkan?

Sejarah yang tak nampak itu adalah ternyata Presiden Soekarno meminta pendirian tersebut ke Partai Katolik. Dan tokoh-tokoh Katolik yang turut serta mengadakan pertemuan untuk mewujudkan keinginan tersebut adalah P.K. Ojong, Jakob Oetama, R.G. Doeriat, Frans Xaverius Seda, Policarpus Swantoro, R. Soekarsono bersama beberapa wakil elemen hierarkis dari Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI): Partai Katolik, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pemuda Katolik dan Wanita Katolik. Mereka sepakat mendirikan Yayasan Bentara Rakyat.

Pendirian Kompas sendiri tidak berlangsung mulus, sempat muncul halangan saat pengajuan izin ke Panglima Militer Jakarta Letnan Kolonel Dachja, yakni bahwa izin akan keluar jika syarat 5000 tanda tangan pelanggan terpenuhi.

“Bagaimana ini, koran belum terbit kok sudah disyaratkan 5.000 pelanggan. Itu kan berarti meminta sesuatu yang tidak mungkin, toh?“ gerutu Seda. Apakah mereka mundur?

Tidak, kaki terlanjur dilangkahkan, niat sudah dipancangkan. Menghadapi birokrasi yang menghambat, tokoh-tokoh Katolik ini lari Pulau Flores, yang mayoritas penduduknya beragama Katolik. Di Flores, mereka mengumpulkan tanda tangan anggota partai, guru sekolah, dan anggota anggota koperasi kopra di Kabupaten Ende Lio, Kabupaten Sikka, dan Kabupaten Flores Timur.

“Kami berhasil mengumpulkan 5.000 tanda tangan dan kita kirim ke Jakarta menggunakan karung. Kaget mereka dan tidak bisa lagi menolak,“ kenang Seda, dengan mata berbinar-binar.

Jadi kalau kita cermati di dua sumber tulisan ini, jelas ternyata hal-hal yang berbau Katolik di awal pendirian Kompas dihilangkan di booklet yang diterbitkan Kompas pada Pameran Industri Pers 2005. Entah ada maksud apa dengan penghilangan unsur sejarah yang cukup penting tersebut.

Mungkinkah Kompas tidak ingin masyarakat luas mengetahui sejarah yang sebenarnya bahwa Kompas didirikan untuk menyuarakan kepentingan pemeluk Katolik? Kompas jelas tidak menginginkan lepasnya pasar mereka yang sudah sedemikian besar. Dan juga dengan tidak diketahuinya latar belakang Kompas yang sebenarnya, diharapkan masyarakat dapat menangkap kepentingan-kepentingan kaum Katolik yang diutarakan sedemikan halusnya.

Hal ini dapat dilihat dari pergantian Pemimpin Redaksi Kompas dari Jakob Oetama ke Suryopratomo yang beragama Islam. Dengan wajah Islam di pimpinan puncak, diharapkan masyarakat dapat menerima pesan-pesan yang disampaikan.

Dan sebagai konsumen media, sudah seharusnya kita bersikap kritis dan mempunyai filter terhadap hal-hal tersebut. Karena jika kita tidak kritis, lambat laun otak kita akan tercuci dan mengikuti arus pemikiran mereka.

Semoga bermanfaat?


Articles

Sensor atau Lampu Padam

In Media on Maret 16, 2006 oleh nonblogs

Bermula dari maraknya perdebatan tentang RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi di sebuah milis. Seorang peserta milis yang mengirimkan tulisan Goenawan Mohamad (GM) di Koran Tempo Edisi 8 Maret 2006 di bagian Opini yang berjudul ‘RUU Porno’: Arab atau Indonesia?

Inti dari tulisan GM tersebut adalah menolak pemberlakuan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) karena RUU tersebut lebih banyak membawa kebudayaan Arab ke Indonesia yang terkenal karena keragamannya. Dan hal tersebut jelas akan mempengaruhi seni budaya yang selama ini ada,.

Dari tulisan tersebut memang GM menganggap bahwa RUU APP itu hanya menampung kepentingan satu golongan tertentu, dan itu adalah Islam. Dimana Islam sendiri memang turun pertama kali di Arab, maka dia berkesimpulan bahwa pemakaian jilbab seperti yang diwajibkan Islam itu adalah budaya Arab. Bukan aturan yang harus dijalankan.

Diskusi tsb akhirnya berkembang, dan moderator dari milis Jurnalisme yakni Farid Gaban (FG), mingrimkan email pribadi ke GM sehubungan dengan opini GM di Koran Tempo tsb. Sebenarnya sih FG tidak setuju juga dengan RUU APP tapi dengan alasan yang jauh lebih sederhana dibandingkan alasan yang dikemukakan GM.

Menariknya adalah, di email FG ke GM tersebut, adalah sisipan pertanyaan yang akhirnya menjadi bahan diskusi yang cukup hangat yakni tentang status kepemilikan saham Jawa Pos Group oleh GM. Dan semua tahu bahwa bahwa Koran Lampu Merah (Lamer) merupakan cucu dari Jawa Pos Group. Lamer sendiri berada di bawah payung Rakyat Merdeka dan Rakyat Merdeka bagian dari Jawa Pos Group.

Petikan email FG ke GM tsb :
Mas Goen bisa sesekali datang ke kios-kios koran dan majalah, dan mungkin akan terkejut betapa liberalnya media kita, suatu hal yang mungkin jarang bisa kita temukan di negeri-negeri Eropa atau Amerika.Saya bisa menunjuk satu dua contoh yang ekstrem, yang kebetulan saya baca sendiri di Harian “Lampu Merah” atau “Non-Stop”—keduanya diterbitkan oleh Grup Jawa Pos (yang Mas Goen sendiri menjadi salah satu pemegang sahamnya).Dalam sebuah edisi, Lampu Merah memajang foto orang bersenggama dengan posisi woman on top di halaman muka. Di edisi lain, Non Stop memuat kiat-kiat berhubungan seks lengkap dengan gambar posisi seks.


Coba anda bayangkan, seorang GM yang cukup lama berkecimpung di dunia jurnalistik ternyata ikut andil dalam penerbitan Lampu Merah. Boleh orang bicara, bahwa di posisi GM, dia tidak akan ikut campur atau bertanggung jawah secara penuh mengenai penerbitan Lampu Merah.

Setelah timbul berbagai macam pertanyaan menyangkut hal terserbut akhirnya GM pun angkat bicara, yakni ..

Anda benar sekali — tak hanya Playboy yang mencemaskan, tapi juga Lampu Merah. Bahkan yang terakhir ini bisa lebih vulgar.Sejak UU Pokok Pers berubah menjadi tak memerlukan perizinan, di bawah pemerintahan Habibi dan Menteri Yunus Yosfiah, kecemasan saya ialah bila yang terjadi seperti di Eropa Timur: Playboy, Hustler…Sebab ini akan mendorong kaum konservatif untuk mengibarkan kampanye anti atau mereduksi kemerdekaan.

Tulisan anda tak saya kaitkan dengan niat mendeskreditkan sikap saya menentang RUU Porno itu, meskipun tentu ada orang yang akan menganggap sikap saya menjadi tidak sah, tidak “murni” lagi.Sikap semacam itu jelas mengalihkan argumen: masuk ke dalam motif pribadi, yang tak akan putus-putusnya dicari dan tetap bisa diperdebatkan — sama seperti kalau kita bertanya, apa motif seseorang mendukung PKS atau menentang argumen PKI..

Yang ingin saya katakan ialah bahwa seperti jika saya tak menyetujui Lampu Merah dan Playboy, saya tetap enganggap berbahaya jika sikap itu membuka peluang bagi sensor..
Juga senadainya saya yang jadi sensor.

Salam,Goenawan .

Jadi buat GM yang penting tidak disensor dari pada Lampu Merah padam !

Articles

Diskusi di Milis

In Uncategorized on Maret 10, 2006 oleh nonblogs

Beberapa hari terakhir ini, aku sering ikut diskusi di salah satu milis yang pesertanya kebanyakan dari kalangan jurnalis baik itu cetak maupun elektronik. Nama milisnya Mediacare. Moderatornya namanya Radityo Djajoeri.

Milisnya cukup ramai. Terlebih memang ada saja peserta milis yang suka bikin panas diskusi. Salah satunya ya si moderatornya sendiri. Yang sudah mulai jarang posting Danny Lim. Dia keturunan cina yang sekarang tinggal di Belanda. Cukup berumur kalo dari pengakuannya. Kalau posting, cukup bikin panas telinga terutama buat orang-orang yang tinggal di Indonesia dan terutama yang beragama Islam. Tapi mungkin lama-kelamaan orang mulai sadar mungkin. Jadi setiap postingan dari orang ini, jarang ditanggapi.

Peserta lain yang dulu cukup menonjol punya ID Sato Sakaki, nama sebenarnya tidak diketahui. Tapi dari pengakuannya sih dia tinggal di Los Angeles. Dia fanatik Amerika. Pembela sejati. Tapi sama seperti Danny Lim, dia mulai ditinggalkan . Karena dia seperti memakai kacamata kuda. Ada saja celah yang dia pakai untuk membela Amerika secara membabi buta. Bahkan seorang peserta milis (cewek) yang tidak aku kenal kirim email japri ke aku, untuk tidak menanggapi Sato. Soalnya Sato ini malah pernah kirim japri ke dia berisi cerita jorok. Dan menurut cewek itu tadi, si Sato ini memakai ID yang berbeda-beda.

Berhubung aku memakai ID lain, alias nama samaran jadi aku bebas mengungkapkan pendapat. Soalnya aku liat beberapa peserta aku kenal secara pribadi. Dan kebanyakan peserta agak bingung dengan nama tsb, apakah manggil mbak atau mas. Dan kalau ada yg nanya, biasanya sih tidak aku tanggapi kalau nggak ya aku guyonin aja.

Topik yang lagi hot akhir-akhir ini adalah masalah RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Cukup panas diskusinya. Sampai-sampai mailbox penuh. Untung aku pake Gmail, yang tampilannya oke punya. Jadi tampilannya berdasarkan temanya. Bukan berdasarkan sender. Aku sendiri mencoba ikut diskusi, dan untuk itu aku harus hati-hati. Soalnya sering karena salah menggunakan kata, dapat menjadi serangan balik ke kita sendiri.

Ada beberapa postingan yang tidak aku tanggapi. Kalau orangnya sampai marah-marah atau panas, sering tidak aku tanggapi. Karena pada akhirnya tidak akan ada titik temu. Jadi seperti rel KA yang bersebarangan dan tidak akan pernah ketemu di satu titik. Kecuali diskusinya dengan kepala dingin, dan mau bersepakat untuk berbeda pendapat. Syukur-syukur ketemu di satu titik.

Satu hal yang dapat aku petik pelajaran dari diskusi di milis adalah, belajar untuk menyampaikan ide atau pikiran atau pendapat ke dalam tulisan. Tulisan yang dapat dinikmati dan dicerna oleh pembaca. Selain itu ya dapat mengasah pikiran kita untuk memunculkan ide-ide baru.